Friday 19 April 2024 
qodsna.ir qodsna.ir

Jumlah Korban Tsunami dan Tantangan Mendatang Meningkat

Badan Nasional Penanggulangan Bencana ( BNPB) mencatat, hingga Selasa (25/12/2018) pukul 13.00, jumlah korban meninggal dunia akibat tsunami Selat Sunda meningkat menjadi 429 orang.

Kantor Berita Qods (Qodsna) mengutip dari Kompas melaporkan, Jumlah itu meliputi korban di 5 kabupaten, yaitu Kabupaten Serang, Pandeglang, Lampung Selatan, Pesawaran, dan Tanggamus.  Dari 5 kabupaten, daerah paling parah terdampak tsunami adalah Kabupaten Pandeglang. Tercatat, korban meninggal dunia di wilayah ini paling banyak, yaitu 290 orang.

 

"Kalau dilihat dari tingkat kerusakan, Pandeglang paling parah, 290 orang meninggal dunia. Lampung selatan 108 orang, Kabupaten Serang 29 orang, Pesawaran dan Tanggamus masing-masing 1 orang," kata Kepala Pusat Data, Informasi dan Hubungan Masyarakat BNPB Sutopo Purwo Nugroho di kantor BNPB, Utan Kayu, Jakarta Timur, Selasa (25/12/2018).

 

Oleh karenanya, pemerintah daerah menetapkan status tanggap darurat bencana di Kabupaten Pandeglang adalah 14 hari, yaitu 22 Desember 2018 hingga 4 Januari 2019. Sedangkan status tanggap darurat bencana di Kabupaten Lampung Selatan adalah 7 hari, terhitung 23 hingga 29 Desember 2019.

 

Menurut Sutopo, masa tersebut bisa saja diperpanjang, tergantung dari kebutuhan penanganan bencana di lapangan. Selain korban meninggal, tercatat 1.485 orang luka-luka, 154 orang hilang. BNPB juga mencatat, ada 16.802 orang yang mengungsi di sejumlah daerah.

 

Sutopo mengatakan, jumlah tersebut masih sangat mungkin bertambah seiring dengan proses evakuasi yang masih terus dilakukan. Selain korban jiwa, tsunami yang terjadi Sabtu (22/12/2018) itu menyebabkan sejumlah kerusakan.

 

Tercatat, sebanyak 882 unit rumah rusak, 73 penginapan berupa hotel dan vila rusak, dan 60 warung rusak. Selain itu, tercatat 434 perahu kapal rusak, 24 kendaraan roda 2 rusak, 41 kendaraan roda 2 rusak, 1 dermaga rusak, dan 1 shelter rusak.

 

Tantangan yang Dihadapi

 

Sutopo menuturkan, menjadi tantangan untuk Indonesia ke depannya mengembangkan sistem peringatan dini tsunami yang dibangkitkan oleh longsoran bawah laut dan erupsi gunung api. Sebab, sampai sekarang, belum ada sistem peringatan dini tsunami yang dibangkitkan kedua fenomena alam tersebut. Saat ini, baru ada sistem peringatan dini tsunami yang dibangkitkan oleh gempa bumi tektonik. Itu pun, banyak yang sudah tidak dapat berfungsi karena rusak.

 

Tidak adanya sistem peringatan dini tsunami yang dibangkitkan oleh longsoran bawah laut dan erupsi gunung api dapat menjadi ancaman masyarakat. Sebab, warga di sekitar laut dan gunung api tak bisa melakukan evakuasi jika terjadi ancaman tsunami yang disebabkan oleh dua fenomena ini.

 

Apalagi, tsunami yang dibangkitkan oleh longsoran bawah laut dan erupsi gunung api dapat tidak menunjukan ciri-ciri yang sama denga tsunami akibat gempa bumi tektonik, yaitu surutnya air laut sebelum terjadi gelombang yang tinggi.

 

"Kita memiliki 127 gunung api aktif, 13 persen populasi gunung api aktif dunia ada di Indonesia yang berpotensi juga menimbulkan tsunami," kata Sutopo di kantor BNPB, Utan Kayu, Jakarta Timur, Selasa (25/12/2018).

 

Tidak adanya sistem peringatan dini tsunami yang dibangkitkan oleh longsoran bawah laut dan erupsi gunung api menyebabkan masyarakat di sekitaran Selat Sunda tak dapat mengevakuasi diri mereka saat tsunami terjadi karena letusan Gunung Anak Krakatau, Sabtu (22/12/2018) malam.

 

Kepala Pusat BNPB menegaskan, status Gunung Anak Krakatau hingga saat ini adalah waspada atau level 2. Status tersebut berdasarkan yang ditetapkan oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG). Menurut pantauan mereka, hingga saat ini masih terus terjadi erupsi dari Gunung Anak Krakatau.

 

"Jadi jangan percaya sejak tadi pagi banyak (kabar) beruntun bahwa status Gunung Anak Krakatau dinaikan menjadi siaga, tetap dalam hal ini statusnya waspada, dan erupsi Gunung Anak Krakatau sebenarnya berlangsung sejak Juni 2018 sampai hari ini," kata Sutopo di kantor BNPB, Utan Kayu, Jakarta Timur, Selasa (25/12/2018).

 

Sutopo menerangkan, tipe Gunung Anak Krakatau adalah strombolian. Artinya, gunung tersebut melontarkan lava pijar dan abu vulkanik secara terus menerus. Dengan tipe tersebut, PVMBG telah menetapakan, sepanjang 2 kilometer dari puncak kawah dinyatakan sebagai zona berbahaya. Sehingga tidak boleh ada aktivitas manusia.

 

"Dan erupsi Gunung Anak Krakatau tidak mengganggu pelayaran kapal di Selat Sunda maupun jalur penerbangan di atas Selat Sunda," ujar Sutopo.

 

Ia menambahkan, Gunung Anak Krakatau saat ini masih dalam fase "pertumbuhan". Gunung ini terus bertambah tinggi 4-6 meter setiap tahunnya. Pertumbuhan tersebut termasuk juga dibuktikan dengan erupsi.

 

Namun demikian, Sutopo memastikan, Gunung Anak Krakatau tidak akan meletus dengan hebat seperti pada tahun 1833. Sebab, kala itu, tiga gunung yang ada di Selat Sunda meletus secara bersamaan, yaitu Gunung Rakata, Gunung Danan, dan Gunung Perbuwatan.




Related Contents

BMKG: WNI yang Tinggal di Pantai Selatan Harus Lebih Hati-hati

BMKG: WNI yang Tinggal di Pantai Selatan Harus Lebih Hati-hati

Kepala Kelompok Teknisi Stasiun Meteorologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan GeofisikA (BMKG) Cilacap Teguh Wardoyo menyebutkan, gelombang tinggi berpotensi terjadi di wilayah pantai yang bisa membahayakan bagi masyarakat disekitarnya.

|

Lagi, Gunung Anak Krakatau Berstatus Siaga Level III

Lagi, Gunung Anak Krakatau Berstatus Siaga Level III

PVMBG, Badan Gelologi Kementerian ESDM telah menaikkkan status Gunung Anak Krakatau dari Waspada di level II menjadi Siaga di level III, dengan zona berbahaya diperluas dari 2 kilometer menjadi 5 kilometer.

|

Users Comments

Videos

Qods News Agency


©2017 Kantor Berita Qods. All Rights Reserved