Saturday 20 April 2024 
qodsna.ir qodsna.ir

Pengamat Israel Paparkan Sebab Kekalahan Israel Perang Lebanon 2006

Pengamat ternama Israel di pusat pengkajian strategi Israel “Begin Sadat” saat memperingati 13 tahun Perang 33 Hari menjelaskan tentang sebab-sebab kekalahan Israel dalam pernag melawan Hizbullah.

Efraim Anbar, pakar dan pengamat di bidang politik di Universites Bar-Ilan dan kepala di pusat penelitian strategi Begin Sadat dalam sebuah catatannya mengungkapkan tentang sebab-sebab kekalahan Israel dalam perang melawan Hizbullah di tahun 20016 yang mashur dengan sebutan Perang 33 Hari.

Di bawah ini kami nukilkan sebagian catatan Efraim Anbar mengenai sebab-sebab kekalahan Israel pada saat perang melawan Hizbullah Lebanon tahun2006 berdasarkan apa yang dinukilan dan dituliskan oleh surat kabar Lebanon.

Ketidaksiapan Petinggi Israel dalam Menghadapi Perang Melawan Hizbullah

Para petinggi militer Israel belum siap pada saat perang melawan Hizbullah pada musim panas 2006. Para politikus dan perancang strategi di perang hanya memberikan strategi yang mentah. Akibatnya Israel gagal untuk memanfaatkan kesempatan untuk mengusir milisi Hizbullah di selatan Lebanon, membidik sasaran lokal, meningkatkan strategi deterensinya serta memperkuat koordinasi antara Yerusalem dan Washington.

Fokus Israel Terpaku pada Masalah Internal dengan “Pemberontak” Palestina dan Menganggap Hizbullah Bukanlah Ancaman Serius

Lebih dari enam tahun sejak keluarnya Israel dari Lebanon pada tahun 2000 hingga pecahnya perang pada tahun 2006, para pemimpin militer Israel selalu difokuskan pada masalah ancaman-ancaman keamanan dengan Hizbullah.

Selain itu Israel harus mati-matian menghadapi Intifadah baru di Palestina baik itu di Tepi Barat maupun di Gaza. Para petinggi Israel pada saat itu mengira bahwa dengan memberikan pengamanan yang cukup di perbatasan Lebanon itu sudah cukup aman bagi Israel.

Padahal pada saat itu Hizbullah kerap melakukan tindakan-tindakan provokatif, seperti penculikan para tentara, pemboman dan serangan-serangan roket dan aksi-aksi teror lainnya. Namun tampaknya hal itu tak menjadi perhatian lebih bagi para petinggi Israel yang masih tenggelam dalam masalah lainnya.

Memberikan reaksi keras kepada Hizbullah saja tak akan mengancam terbentukannya pertempuran baru. Bahkan akan dapat membuat ketegangan antara Tel Aviv dan Suriah semakin memanas. Namun para petinggi Israel tampaknya tak rela dengan keluarnya mereka dari Lebanon yang berdampak pada berkurangnya perluasan ekonomi di Suriah bagian utara.

Ini bukan artinya Israel tak menganggap Hizbullah sebagai ancaman serius. Setelah Israel meninggalkan selatan Lebanon, para politisi merasa kelompok ini (Hizbullah) hanya akan membuat masalah baru bagi mereka. Namun beberapa tahun yang lalu pendapat mereka sama sekali berubah. Akhirnya mereka sadar bahwa Hizbullah merupakan penghalang strategi mereka di kawasan.

Pada Januari 2003, Jenderal Shaul Mofaz, Mantan Komandan Pasukan Pertahanan Israel, yang kemudian akhirnya menjadi Menteri Pertehanan Israel, kerap memperingatkan bahaya Hizbullah. Hal yang sama juga kerap diungkapkan oleh wakilnya, Jenderal Moshe Ya’alon. Menurut Ya’alon, banyak bagian utara Israel yang dirasa tidak aman dari serangan Hizbullah.

Banyak dari komandan militer Israel percaya bahwa masalah dengan Hizbullah ini dapat diselesaikan hanya dengan sedikit kekuatan, atau melalui diplomasi. Udi Adam, Komandan militer bagian Utara Israel mengatakan, “Tak semua masalah harus dislelesaikan melalui militer. Kita juga memiliki satu solusi, yaitu dengan diplomasi.” “Saya yakin tak ada yang ingin untuk kembali ke Lebanon,” tambahnya.

Kesabaran Israel pada 12 Januari 2006 telah sampai pada puncaknya setelah para pasukan Hizbullah menyerang para pasukan penjaga di perbatasan Israel dan berhasil menyandera dua tentara Israel.

Peristiwa tersebut terjadi 19 hari setelah para penduduk Palestina “tak mengindahkan” kawasan privasi Israel di Gaza. Perdana Menteri Israel dan Menteri Pertahanan Israel pada waktu itu telah memerintahkan untuk segera dilakukannya rekasi keras.

Lemahnya Strategi dan Persiapan

tak lama setelah berakhirnya perang, para petinggi Israel sekali lagi mengkaji situasi keamanan di Israel. Mereka akhirnya sadar bahwa ada satu celah. Mereka yang sebelumnya mengatakan tentang kemenangan ternyata hanyalah omong kosong. Para pejabat pada saat itu saling menyalahkan satu sama lainnya. Akhirnya Kabinet Israel membentuk sebuah tim penelitian khusus untuk mengkaji kesalahan-kesalahan strategi yang berakibat pada kekalahan mereka melawan Hizbullah.

Kesalahan-kesalahan strategi dan persiapan serta penerapannya pada perang melawan Lebanon pada tahun 2006 sebenarnya dilakukan oleh para pejabat Israel dan para pemimpin militer Israel di tingkat atas. Kesalahan-kesalahan itu mengakibatkan Hizbullah dapat memberikan perlawanan hebat saat menghadapi tentara besar Israel yang dibekali dengan senjata yang amat canggih.

Persiapan yang payah berakibat pada lemahnya operasi militer Israel sejak awal. Sebelum perang, para penyusun strategi Israel berharap pada hal-hal yang tak masuk akal saat terjadinya pertempuran dengan Hizbullah nantinya.

Tak adanya strategi yang memadai yang disusun oleh Israel bisa jadi akar masalahnya kembali pada masa pemerintahan Ariel Sharon pada saat itu. Ia yang juga pernah menjadi Menteri Pertahanan Israel pada tahun 1982 tersebut adalah orang yang memegang kendali perang dengan Lebanon pada saat itu. Akhirnya Ia lah yang kemudian jadi pihak yang paling disalahkan karena situasi tak stabil di Israel pasca perang.

Pada tahun 1983, Komisi Kahan (Komisi yang didirikan untuk menangani kasus-kasus pembunuhan di pengungsian Israel) telah menuduh Ariel Sharon sebagai pihak yang secara tidak langsung bertanggungjawab atas terjadinya pembantaian Sabra dan Shatila.

Maka dari itu, apabila Sharon mengusulkan perang susulan ke Lebanon, maka ia tak akan mampu memperbaiki citranya di mata publik selama masa jabatannya sebagai perdana menteri.

Sikap kepala Staf Miiter Israel yang dianggap tak begitu menganggap serius masalah Lebanon ini akhirnya berbuntut pada kekalahan mereka di perang melawan Lebanon.

Alhasil, tentara Israel sebelum perang tak mampu merencanakan apa yang akan mereka lakukan secara detil selama perang.

Akibat Dikuranginya Budget di Bidang Pertahanan

Hal ini juga tak luput dari kesalahan Shaul Mufaz, Menteri Pertahanan Israel yang memutuskan untuk meringankan aturan wajib militer di Israel pada masa jabatannya (2002-2006). Ia telah mengurangi masa wajib militer dan materi yang diajarkan dalam wajib militer.

Menurut pengakuan Benny Gantz, Kepala Staf Umum di Pasukan Pertahanan Israel, Kabinet Israel sejak tahun 2001 telah memotong budget di bidang pertahanan hingga 800 juta dolar.

Tentara Israel juga terpaksa mengurangi pengadaan tank dikarenakan masalah budget. Para pejabat yang memiliki akses dengan finansial Israel telah mendesak tentara Israel untuk menghentikan pengadaan tank jenis Markeva.

Di sisi lain, karena kendala dana, Israel harus mengurungkan diri untuk memasang sistem pertahanan anti rudal yang akan dipasangkan disebagian besar tank-tank mereka. Sejak saat ituangkatan udara Israel juga tak lagi menggunakan bom-bom penghancur tempat-tempat persembunyian dalam setiap operasi militer mereka.

Hanya sedikit tentara khusus yang memperoleh pelatihan militer yang sesuai dengan medan pertempuran di selatan Lebanon. Itu pun mereka saat diperintahkan untuk menyerbu perbatasan tak memiliki informasi terbaru mengenai medan pertempuran.

Menganggap Remeh Hizbullah

Titik lemah lain Israel adalah para petinggi Israel tak mau mengakui bahwa operasi militer adalah sebuah perang yang sesungguhnya.

Maka dari itu rezim zionis Israel pada saat terjadinya perang bahkan tak memberikan peringatan darurat dan tak menggunakan kekuatan hukum dan administrasi selama perang. Lambatnya persiapan pasukan untuk berjaga-jaga juga merupakan salah satu bentuk kekalahan mereka bahkan sebelum terjadinya perang.

Para petinggi Israel juga tak melihat pentingnya menggunakan strategi Peluncur roket ganda Katyusha. Di waktu-waktu pertama terjadinya pertempuran, bahkan tentara Israel tak berhasil mencapai target yang mereka tuju di tikit-titik yang relatif mudah untuk ditaklukkan.

Bertahun-tahun lamanya anggota badan intelejen Israel tak begitu menganggap penting kumpulan data dan informasi tentang perkembangan rudal-rudal Hizbullah. Mereka menganggap rudal-rudal Hizbullah berukuran kecil dan tak memiliki akurasi yang baik. Maka dari itu mereka menganggap hal itu bukanlah hal yang mesti dikhawatirkan.

Dan Halutz, mantan panglima Angkatan Udara Israel mengatakan, “Rudal-rudal jarak dekat adalah senjata-senjata yang tak begitu berpengaruh dan tak berbahaya.” Namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa para penduduk Israel di bagian utara tak siap menghadapi serangan rudal-rudal Hizbullah.

Sebagian besar rudal-rudal jarak dekat Hizbullah berhasil ditembakkan ke kawasan-kawasan terbuka. Meskipun kerugian yang ditanggung Israel tak begitu besar, namun 25 persen, atau kurang lebih empat ribu rudal yang ditembakkan telah mengenai kawasan-kawasan penduduk sipil dan segenap wilayah utara Israel. Di daerah tersebut banyak titik-titik strategis yang berhasil dilupuhkan oleh Hizbullah, antara lain: pelabuhan utama, sejumlah kilang minyak dan sebagian besar titik-titik strategis lainnya.

Lebih dari satu juta penduduk Israel mengungsi ke kamp-kamp pengungsian dan sekitar 300 ribu orang untuk sementara harus meninggalkan rumah-rumah mereka dan mencari perlindungan di daerah selatan Israel.

Ehud Olmert (Perdana Menteri Israel dari tahun 2006-2009) pada 3 Agustus 2006 telah melontarkan pernyataan yang sangat keliru.  Ia mengatakan bahwa besarnya perang tak dapat diukur dengan banyaknya rudal yang ditembakkan ke Israel.

Bombardir rudal yang tak henti-hentinya menghujani kota-kota di utara Israel membuat Hizbullah telah mengklaim kemenangannya sejak awal.

Kegagalan Israel dalam menentukan biaya yang cukup untuk mengembangkan sistem pertahanan udara anti rudal yang memadai adalah satu lagi kesalahan besar Israel lainnya.

Padahal pihak teknisi pertahanan Israel telah menawarkan solusi yang tepat untuk menghadapi rudal-rudal jarak dekat. Namun militer Israel sendiri tak memanfaatkannya dalam perang tersebut. Baru lah setelah itu di bulan Februari 2007 Menteri Pertahanan Israel menyetujui pengembangan sistem pertahanan udara anti rudal jarak dekat.

Untuk saat ini sistem pertahanan Israel dari perusahaan Rafael telah berhasil ditingkatkan kualitasnya. Sistem pertahanan tersebut telah dipersiapkan untuk menghadang rudal-rudal al-Qassam, Katyusha dan rudal-rudal jarak menengah “Zelzal” milik Iran. Selain itu saat ini sistem pertahanan Israel juga dilengkapi dengan rudal Arrow yang dapat menghadang rudal-rudal jarak jauh dari Suriah maupn Iran.

Terlalu Mengandalkan Serangan Udara Jadi Bumerang bagi Israel

Satu lagi kesalahan besar Israel adalah terlalu bergantung pada kekuatan angkatan udara. Memang benar bahwa angkatan udara Israel pernah berjaya pada tahun 90-an. Namun tentara darat Israel seharusnya tidak diabaikan begitu saja.

Setelah perang Kuwait pada tahun 1991, tak hanya di Amerika Serikat, bahkan di semua tempat di dunia menganggap bahwa kekuatan militer adalah sebuah unsur kekuatan yang sering menipu. Bahkan para petinggi militer Israel sendiri masih sering was-was dengan kekuatan angkatan udaranya.

Namun pemimpin angkatan udara Israel terus meyakinkan para petinggi Israel bahwa pasukan udara mereka akan mampu memberikan kontribusi yang lebih besar dari apa yang pernah mereka lihat di perang-perang sebelumnya.

Dan Halutz merupakan Panglima Angkatan Udara Israel pada tahun 2000 hingga 2004. Ia memiliki sikap fanatisme yang berlebihan kepada kekuatan angkatan udara Israel. Maka dari itu pada pada saat ia dingkat menjadi panglima tertinggi seluruh angkatan bersenjata Israel, ia terus mengurangi kadar kepercayaannya kepada pasukan darat dan semakin meningkatkan konsentrasinya kepada angkatan udara.

Trauma Karena Banyaknya yang Terbunuh di Perang

Trauma yang berlebihan karena banyaknya korban jiwa di perang sebelumnya menjadi penghalang kekuatan operasi militer Israel. Kepala di bagian Sumber daya Manusia Israel pasca perang menuturkan bahwa banyak pasukan Israel yang tak melaksanakan kewajibannya dengan baik saat menangani para korban perang yang luka-luka maupun yang tewas.

Pada saat terjadinya perang dengan Hizbullah, Halutz menentang keras dilakukannya operasi darat. Menurutnya operasi darat seharusnya menjadi pilihan yang paling akhir. Bahkan Halutz menetang Perdana Menteri Ehud Olmert dan Menteri Pertahanannya memerintahkan untuk melakukan serangan darat untuk menghentikan serangan-serangan rudal-rudal Katyusha. Akhirnya keraguan semakin menyelimuti para pemimpin tentara Israel. Kesempatan itu sangat dimanfaatkan dengan baik oleh Hizbullah untuk terus menghujani kawasan pendudukan Israel dengan rudal-rudal mereka. Selain itu keenggangan petinggi Israel untuk menggunakan serangan darat telah memicu kemarahan penduduk Israel.

Mengabaikan Stabilitas dalam Negeri

Para petinggi Israel di pemerintahan dan di militer tak begitu memperdulikan ketegangan yang saat itu terjadi di seluruh kawasan Israel. Akhirnya pada tahun 2004 Moshe Ya’alon baru mengakui bahwa titik paling lemah di pertahanan Israel adalah minusnya stabilitas umum di Israel.

Ehud Olmert pada tahun 2005 mengatakan, “Kami sudah lelah dengan perang, kami sudah bosan dengan menjadi pemberani dan sudah bosan dengan kemenangan, kami sudah bosan dengan semua kekalahan yang diderita oleh musuh-musuh kami.”

Namun Mayor Jenderal Benny Gantz, Komandan Wilayah Utara saat ini mengatakan bahwa ketika pada saat ia khawatir dengan rudal-rudal Israel, ia lebih berharap pada kemampuan rakyat Israel untuk bertahan melawan kerasnya tekanan perang.

Pernyataan seperti ini tidaklah benar. Para penduduk Israel selama terjadinya perang berada dalam stabilitas yang tinggi. Israel tak pernah menyerah dari serangan Intifadah yang dimulai pada September 2000. Ini sudah terbukti di seluruh jejak pendapat.

Seluruh penduduk Israel sebenarnya mampu menanggung segala kerugian dan kerusakan yang lebih besar dari ini demi mengakhiri ancaman-ancaman Hizbullah. Bahkan mereka yang telah kehilangan salah satu anak mereka di perang melawan Hizbullah terus memberikan dukungannya kepada pemerintah untuk terus melakukan penyerangan. Pemerintah Israel harus membayar kerugian yang lebih besar karena perkiraannya yang salah terhadap kuatnya masyarakat Israel katimbang kerugian yang diambil lantaran mereka tak mampu menggunakan kesempatan sebaik-baiknya di perang melawan Hizbullah.




Users Comments

Videos

Qods News Agency


©2017 Kantor Berita Qods. All Rights Reserved