qodsna.ir qodsna.ir

Piala Dunia Datang dengan Bumbu Israel-Palestina dan Rasisme

Tanpa kehadiran Italia dan Belanda, Piala Dunia Rusia 2018 seakan-akan menjadi sebuah penutup era di mana generasi semacam Lionel Messi, Cristiano Ronaldo, dan Andres Iniesta, barangkali akan memainkan Piala Dunia terakhirnya.

Namun, lebih dari suasana perpisahan itu, dunia telah semakin “lebur” dengan sepakbola. Dan dalam posisinya sebagai tontonan, Piala Dunia telah pula merefleksikan apa yang terjadi di seantero dunia.

 

Bagi kita orang Indonesia, apa yang muncul di media sosial pada pekan terakhir Oktober tahun lalu di mana gambar yang menunjukkan pembantaian terhadap dua bintang terbesar di Piala Dunia 2018, Lionel Messi dan Nyemar, yang diduga disebarkan oleh ISIS, memiliki relevansinya.

 

Terutama karena Indonesia adalah tempat di mana ledakan bom yang diduga berhubungan dengan ISIS pernah terjadi dan juga karena posisi konflik Israel-Palestina. Suka atau tidak suka, Indonesia berada pada posisi tersebut ketika Piala Dunia digunakan sebagai momen untuk sesuatu yang kita rasakan “cukup dekat.”

 

Tentu saja kita tidak perlu mencemaskan keberadaan Neymar dan Messi di Rusia nanti. Namun, pernahkah kita menyadari bahwa hubungan Indonesia dan isu dunia saat ini telah mewarnai bagaimana Piala Dunia datang kepada kita?

 

Bagi saya, persoalan ini layak menjadi pertimbangan jika kita melihat apa yang terjadi antara masyarakat Indonesia dan sepakbola. Dengan 77 persen dari populasi Indonesia terlibat dalam bisnis sepakbola global (data Nielsen Sports 2018) – kedua terbanyak setelah Nigeria dengan 88 persen – maka Piala Dunia adalah sebuah pengetahuan yang berpotensi digunakan untuk memengaruhi dan membentuk opini publik.

 

Masih belum terlalu usang rasanya ketika Presiden Federasi Sepakbola Palestina, Jibril Rajoub, mengajak masyarakatnya untuk membakar jersey Lionel Messi jika Tim Nasional Argentina jadi bermain menghadapi Israel di Jerusalem sebagai laga terakhir menjelang Piala Dunia.

 

“Messi adalah simbol perdamaian dan cinta. Kami meminta dia untuk tidak terlibat dalam pencucian kejahatan pendudukan Israel,” kata Rajoub sebagaimana dipetik dari El Mundo Deportivo.

 

Laga yang sedianya digelar pada 10 Juni 2018 itu akhirnya dibatalkan atas alasan keamanan. Dan Federasi Sepakbola Palestina berterimakasih kepada Messi atas pembatalan laga tersebut.

 

Dengan cepat kabar ini mereferensikan konflik Israel-Palestina sehubungan dengan keputusan pemerintah Amerika Serikat melalui Presiden Donald Trump untuk memindahkan Kedutaan Besarnya untuk Israel ke Jerusalem.

 

Isu lain yang mungkin tidak terlalu memiliki hubungan sejarah dengan Indonesia namun cukup membuat pemerintah Rusiabekerja keras adalah rasisme. Sebagaimana yang dilaporkan oleh jurnalis lepas, Simon Parkin, bahwa Rusia sedang berjuang untuk menjinakkan kelompok sayap kanan-jauh yang cenderung rasis dan didukung oleh negara serta politisi dalam dua dekade terakhir.

 

Bek sayap kulit hitam Tim Nasional Inggris, Danny Rose, telah meminta keluarganya untuk tak datang ke Rusia karena ia tak ingin keluarganya mengalami pelecehan rasial. Dengan nada meragukan, pemain Tottenham Hotspur itu tidak percaya otoritas sepakbola bisa mengatasi hal tersebut.

 

Rose menyampaikan keluhannya setelah menerima ejekan “monyet” saat bermain membela Timnas Inggris U-21 di Serbia pada 2012. “Saya tidak mendapatkan dukungan apapun setelah (insiden) di Serbia,” ucap Rose.

 

Pernyataan ini menjadi masuk akal karena dalam tahun-tahun terakhir holiganisme telah menjadi alat untuk mengekspresikan kebencian rasial di kalangan suporter sepakbola Rusia. Orang asing dan kulit hitam adalah sasaran serangan mereka.

 

“Selama dua dekade, lembaga-lembaga Rusia telah menjadi mesin untuk merekrut dan meradikalisasi pemuda untuk (ideologi) kanan jauh, yang menanamkan ideologi rasis di jantung budaya sepakbola negeri tersebut,” tulis Parkin.

 

Rasisme, konflik Israel-Palestina, dan terorisme yang mengatasnamakan agama telah memasuki area sepakbola untuk memengaruhi pendapat publik. Dan situasi ini merupakan tahap lanjut dari pergolakan politik di sejumlah tempat pada abad ke-21.

 

Rasisme adalah laten setua budaya perbudakan itu sendiri. Terorisme adalah aliran yang mulai mengglobal setelah peristiwa 9 September di Amerika Serikat. Dan konflik Palestina-Israel adalah sesuatu yang sejak awal telah digambarkan sebagai arena konflik.

 

Bisakah kita tetap bergembira menyambut Piala Dunia kali ini? Bahkan sebagai orang Indonesia?

 

Tentu saja bisa karena 77 persen dari populasi Indonesia bukanlah jumlah yang kecil untuk duduk pada satu waktu menekuni televisi demi menyaksikan tim nasional negara-negara.

 

Tetapi, yang terjadi di dunia saat ini seakan mengajak publik untuk duduk dan berpikir bahwa sepakbola tak seharusnya hanya sekadar menjadi tontonan. Dan apa yang terjadi dengan pembatalan laga Israel-Argentina adalah bentuk respons dunia sepakbola terhadap situasi dunia yang tak “segembira” seperti yang diharapkan.

 

Sebagaimana Palestina berterimakasih kepada Lionel Messi, maka respons dari dunia sepakbola seperti memberikan tanggung jawabnya sebagai tontonan publik. Bahwa sepakbola sudah seharusnya memainkan peran dalam kemanusiaan untuk menjadikan dunia menjadi tempat yang lebih baik untuk ditinggali dan dihidupi.