Thursday 25 April 2024 
qodsna.ir qodsna.ir

Terungkap, Fakta Baru Kemesraan UEA dan Israel

Majalah The New Yorker dalam laporannya yang cukup rinci membahas tentang adanya koordinasi dan kerjasama antara Uni Emirat Arab dengan rezim Zionis Israel, pemerintahan Donald Trump dan pemerintahan Barack Obama.

Media Amerika Serikat tersebut mengulas tentang hubungan dan kedekatan secara personal antara Benjamin Netanyahu dengan ayah Jared Kushner yang merupakan menantu Donald Trump. Dari hubungan tersebut terciptalah adanya kerjasama yang khusus antara rezim Israel dengan Donald Trump di masa setelah kemenangannya di pemilihan umum presiden Amerika Serikat.

 

Majalah Amerika Serikat tersebut menambahkan, “Selain itu ada satu duta besar di Timur Tengah yang juga memiliki hubungan khusus dengan tim pemenangan Donald Trump yaitu Yusuf al-Utaibah, Duta Besar Uni Emirat Arab di Amerika Serikat. Al-Audah sendiri dikenalkan dengan jajaran tim pemenangan Donald Trump oleh salah seorang miliarder berkebangsaan Lebanon-Amerika Serikat yang bernama Thomas Barak.

 

Thomas Barat adalah salah satu penyokong finansial untuk Donald Trump yang memiliki hubungan sangat dekat dengan ayah al-Utaibah.”

 

Saat itu, menurut laporan majalah tersebut, Barak sudah mengetahui tentang adanya hubungan dekat antara Kushner dengan duta besar Israel di Washington di masa itu. Ia juga meyakini bahwa tim pemenangan Donald Trump harus mendengarkan apa yang ingin disampaikan oleh para petinggi negara-negara Arab di kawasan Teluk.

 

Bila dilihat secara tradisi, adanya hubungan kerjasama dengan rezim Israel seharusnya akan mengakibatkan kemarahan para petinggi negara-negara Arab di kawasan teluk. Namun atasan al-Utaibah, yaitu Muhammad bin Zayed, Putera Mahkota Abu Dhabi memiliki pandangan yang berbeda berkenaan dengan hal ini. Menurutnya, negara-negara kawasan teluk dan Israel saat ini memiliki satu musuh yang sama, yaitu Iran. Negara tersebut dianggap sebagai ancaman terbesar bagi kedua belah pihak.

 

New Yorker menulis, “Tak lama setelah Barack Obama dilantik menjadi presiden Amerika Serikat pada tahun 2009, para pejabat Israel dan Uni Emirat Arab untuk pertama kalinya kompak dalam satu suara. Keduanya bersama-sama mendesak pemerintah Amerika Serikat pada waktu itu untuk menyeriusi ancaman yang diberikan oleh Iran.”

 

Berdasarkan laporan ini Al Utaybi dan duta besar Israel untuk Amerika Serikat pada waktu itu, Sallai Meridor, meminta kepada Dennis Ross penasehat Obama untuk urusan Asia Barat untuk bertemu dengan mereka di Hotel Georgetown. Dalam pertemuan tersebut, kedua duta besar mengajukan permintaan bersama.

 

Seorang mantan pejabat AS mengatakan pada pertemuan dengan duta besar dan penasehat Zionis Obama, “Pertemuan itu mewakili kerjasama nyata dan praktis antara [Uni Emirat Arab dan Israel], dan melampaui pertukaran informasi.”

 

“Pertemuan itu dirancang untuk menarik perhatian,” kata pejabat senior Arab itu kepada The New Yorker. Jika kita duduk bersama dan melakukan hal yang sama, mereka akan menganggapnya serius. ”

 

Menurut laporan media pada Mei 2009, selama serangkaian pertemuan di Washington, Netanyahu, Obama dan pasukannya dibujuk untuk melakukan sesuatu untuk mengurangi kebencian terhadap Israel di wilayah tersebut. Netanyahu telah meminta Menteri Luar Negeri Hillary Clinton untuk membujuk para pemimpin Arab agar secara terbuka bertemu dengannya, kata seorang pejabat senior AS selama pertemuan itu.

 

The New Yorker menulis beberapa minggu kemudian bahwa Obama pergi ke Riyadh untuk bertemu Raja Abdullah bin Abdul Aziz al-Saud. Tujuan dari pertemuan tersebut adalah untuk membahas rencana Riyadh yang diusulkan pada tahun 2002 dan menyerukan penarikan Israel dari semua tanah yang diduduki sejak tahun 1967 sebagai imbalan pengakuan oleh negara-negara Arab. Pada pertemuan tersebut, Obama meminta Raja Abdullah untuk secara terbuka bertemu Netanyahu. Tanggapan mantan raja Arab Saudi adalah: “Tidak mungkin.”

 

Setelah Hillary Clinton, John Kerry, sebagai Menteri Luar Negeri AS, kembali mencoba untuk menghidupkan kembali perundingan kompromi antara Israel dan Palestina. Ketika persidangannya gagal pada tahun 2014, Netanyahu meminta Ishak Molho, salah satu penasihat terdekatnya, untuk fokus dalam menghubungi negara-negara Arab. Dia menginginkan hubungan dengan UAE dan Arab Saudi untuk menjadi lebih dari sekedar hubungan rahasia.

 

Setelah kematian raja Abdullah pada tahun 2015, generasi baru dinasti Arab Saudi mulai berganti. Putera Raja Salman bin Abdul Aziz, Mohammad bin Salman dengan mulus berhasil mengklaim pangkat putera mahkota. Menurut New Yorker, putera Salman tersebut sangat jarang memandang Israel dari segi ideologi. Sebaliknya, ia kerap mengulang kata-kata semisal “Israel tak pernah menyerang kami” dan “Kami memiliki musuh yang sama dengan Israel”.

 

Bin Salman juga mengatakan bahwa dia siap untuk melakukan kerjasama penuh dengan Israel. Seperti Mohammed Bin Zayed, dia mengecam para pemimpin Palestina yang mengupayakan diskusi dengan para pejabat AS dan pelobi yang mendukung rezim Zionis. Ia juga sangat berhasrat untuk secepatnya mengakhiri perselisihan yang ada antara Palestina dan Israel, meskipun Palestina dalam hal ini tak akan diuntungkan.

Dalam beberapa bulan terakhir di masa pemerintahan Obama, lembaga-lembaga intelejen Amerika telah mendapati adanya hubungan telepon antara para pejabat UEA dan pejabat Israel. Salah satunya, antara Netanyahu dan sejumlah pejabat UEA. Lembaga intelejen AS juga berhasil mengungkap pertemuan rahasia antara para petinggi UEA dan Israel di Siprus. Para pejabat Amerika Serikat menduga Netanyahu ikut hadir dalam pertemuan tersebut yang konon tema utama yang dibahas pada saat itu adalah masalah perundingan nuklir Iran (JCPOA). Pada saat itu, Israel dan UEA kompak untuk merahasiakan pertemuan ini dari pemerintah Barack Obama.




Users Comments

Videos

Qods News Agency


©2017 Kantor Berita Qods. All Rights Reserved