qodsna.ir qodsna.ir

Dari Era Bung Karno, Indonesia Tetap Konsisten Dukung Palestina

Seperti yang diketahui, Dunia saat ini sedang mengecam Amerika Serikat dan Israel, menyusul Amerika Serikat (AS) yang memindahkan kedutaan besar Amerika Serikat ke Yerusalem dari Tel Aviv setelah sebelumnya Presiden AS tersebut, Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Kecaman juga datang dari indonesia, aksi Bela Palestina yang digelar rakyat Indonesia pada Jum’at (11/5/18) kemarin menjadi bukti kecintaan Indonesia kepada Palestina. Seruan boikot produk-produk AS dan Israel pun bergema.

Ternyata, Aksi mengecam kebiadaban Israel terhadap rakyat Palestina sudah puluhan tahun lalu dilakukan Presiden pertama RI, Ir Sukarno. Bung Karno merupakan salah seorang pemimpin yang selalu membela perjuangan bangsa-bangsa tertindas. Ia dikenal sangat gigih membela perjuangan rakyat Palestina. Meskipun Bung Karno belum pernah menjejakkan kaki di tanah Palestina, namun jejak dukungan Sang Proklamator Indonesia untuk kemerdekaan Palestina telah terpatri dalam catatan sejarah.

Perjuangan Bung Karno Membela Palstina

Dukungan pemerintah Indonesia, yang digaungkan Bung Karno, terhadap kemerdekaan Palestina tak lepas dari sokongan yang diberikan pemerintah dan rakyat Palestina terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Bahkan setahun sebelum Indonesia merdeka, pada 6 September 1944 mufti besar Palestina, Syekh Muhammad Amin Al-Husaini memberikan dukungan secara terbuka bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Berdasarkan buku Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri karya M Zein Hassan Lc Lt, sejak dukungan yang disampai secara terbuka melalui siaran radio Syekh Muhammad Amin Al-Hussaini, jalanan di Palestina dipenuhi gelombang aksi solidaritas dan dukungan kepada Indonesia oleh masyarakat Timur Tengah.

“Terimalah kekayaan saya ini untuk memenangkan perjuangan Indonesia,” kata saudagar kaya Palestina, Muhammad Ali Taher saat membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia pada 1944.

Setelah merdeka, saat Indonesia membutuhkan pengakuan sebagai negara berdaulat, lagi-lagi rakyat Palestina bergerak, mendorong Mesir mengakui Indonesia. Pengakuan kedaualatan dari Mesir dan Palestina pada 1947 itu merupakan buah diplomasi H Agus Salim melalui jaringan Ikhwanul Muslimin, yang berbasis di Palestina.

Setelah merdeka, Indonesia di bawah Presiden Sukarno juga mendukung rakyat Palestina untuk mendapatkan kemerdekaan dari penjajahan Israel. Indonesia tak pernah mau mengakui negara Israel yang diproklamasikan oleh David Ben-Gurion pada 14 Mei 1948, karena merampas tanah rakyat Palestina. Itulah sebabnya sejak zaman Bung Karno Indonesia tak pernah membuka hubungan diplomatik dengan Israel.

Dukungan Bung Karno untuk Palestina

Dukungan Bung Karno terhadap Palestina ditunjukkan saat mulai menggagas Konferensi Asia Afrika (KAA) pada 1953. Indonesia dan Pakistan menolak keras diikutsertakannya Israel dalam konferensi tersebut.

Israel yang didirikan atas bantuan Inggris dinilai bentuk nyata kolonialisme baru yang mengancam perdamaian dunia.

Sebaliknya, saat penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika (KAA) pada 1955, Soekarno mengundang Palestina meskipun saat itu belum diakui sebagai negara merdeka. Mufti besar Palestina, Syekh Muhammad Amin Al-Husaini datang dan mewakili kepentingan Palestina.

Dalam pidato pembukaan KAA, Sukarno secara lantang memberikan dukungan kepada negara-negara yang masih mengalami penjajahan. “Kolonialisme belum mati, hanya berubah bentuknya. Neokolonialisme itu ada di berbagai penjuru bumi, seperti Vietnam, Palestina, Aljazair, dan seterusnya,” kata Soekarno.

Semangat Bandung yang menyuarakan anti imperialisme dan kolonialisme bergaung hingga di negeri Palestina. Pidato pembukaan Sukarno di KAA juga menginspirasi tokoh perjuangan kemerdekaan Yasser Arafat yang lahir pada tanggal 24 Agustus 1929 atau saat itu berusia berusia 34 tahun. Pidato tersebut juga menjadi dukungan moril bagi ribuan pejuang kemerdekaan Palestina lainnya.

Pasca-KAA, solidaritas bangsa-bangsa Asia-Afrika menguat dan semangat antikolonialisme makin membara di dada rakyat kedua benua. Soekarno pun makin keras mendukung perjuangan kemerdekaan rakyat Palestina. Sikap keras Bung Karno juga ditunjukkan melalui tim sepak bola nasional (Timnas) Indonesia.

Pada 1957, Timnas Indonesia juara Grup 1 zona Asia setelah di laga akhir menaklukkan China. Tim asuhan Antony Pocganick pada putaran kedua dipertemukan juara grup dari zona Asia dan Afrika, yaitu Mesir, Israel, dan Sudan. Pertandingan dijadwalkan berlangsung akhir Juli 1957.

Artinya, selangkah lagi Ramang dkk melenggang ke Piala Dunia 1958 di Swedia. Namun, Timnas menolak dan memilih tidak tampil di Piala Dunia ketimbang beradu di satu lapangan dengan Israel. Mesir dan Sudan juga menolak bertanding, begitu juga sejumlah tim pengganti, seperti Turki.

Maulwi Saelan, mantan kiper Timnas Indonesia yang juga ajudan Sukarno, mengatakan, mundurnya Timnas Indonesia karena perintah Sukarno. Padahal saat itu Indonesia yang bergabung di penyisihan wilayah Asia Timur, telah menundukkan China.

“Itu sama saja mengakui Israel,” ujar Maulwi menirukan ucapan Sukarno, seperti dikutip dari Historia. “Ya, kita nurut. Nggak jadi berangkat,” kata Saelan yang pernah membawa Indonesia menahan imbang Uni Soviet dalam Olimpiade Melbourne 1956.

Israel pun keluar sebagai juara grup tanpa lawan. Sial, meski melenggang ke babak play off, Israel gagal ke putaran final karena dua kali dari Wales (home and away). Pada Piala Dunia 1958 tak ada satu pun wakil Asia.

Dukungan terhadap Palestina kembali dilakukan Bung Karno ketika Jakarta menjadi tuan rumah Asian Games IV pada 1962. ia menolak kehadiran kontingen Israel dengan tidak memberikan visa kepada kontingen Israel dengan alasan Indonesia tak mempunyai hubungan diplomatic, akibatnya Jakarta terpaksa harus menghadapi konsekuensi dari Komite Olimpiade Internasional (IOC) yang menarik diri sebagai pelindung AG IV. Bahkan, IOC melarang benderanya dikibarkan di Jakarta. Puncaknya, Indonesia keluar IOC. Setahun kemudian, Indonesia menyelenggarakan Ganefo (Games of the New Emerging Forces) di Jakarta, yang sukses besar dan dihadiri 48 negara.

Dukungan Soekarno terhadap Palestina tidak pernah luntur meskipun kekuasaan pemerintahannya mulai limbung setelah peristiwa G-30S/PKI. Pada pidato Hari Ulang Tahun Kemerdekaan ke-21 Republik Indonesia 17 Agustus 1966, Bung Karno tetap terus mengelorakan dukungan untuk kemerdekaan Palestina.

“Kita harus bangga, bahwa kita adalah satu bangsa yang konsekuen terus. Bukan saja berjiwa kemerdekaan, bukan saja berjiwa antiimperialisme, tetapi juga konsekuen terus berjuang menentang imperialisme. Itulah pula sebabnya kita tidak mau mengakui Israel!” kata Sukarno sebagaimana dimuat dalam Revolusi .

Pernyataan Bung Karno yang Menjadi Nyata

Ketika Indonesia keluar dari PBB pada 7 Januari 1964, salah satu alasan Bung Karno adalah, “Dengan menguntungkan Israel dan merugikan negara Arab (termasuk Palestina), PBB nyata-nyata menguntungkan imperialisme dan merugikan kemerdekaan bangsa-bangsa.” Bung Karno yang menuduh PBB merupakan kepanjangan tangan AS dan sekutunya, menamakan PBB lebih jelek dari mimbar omong kosong.

Apa yang dikemukakan presiden pertama RI 40 tahun lalu kini jadi kenyataan. Ketika terjadi agresi Israel ke Palestina saat ini, PBB hanya menyerukan agar Israel menarik diri dari Palestina. Dan ketika seruan ini tidak digubris Israel, PBB bungkam seribu bahasa.

Tapi, badan dunia ini bukan saja memberikan dukungan kepada AS untuk menyerang Irak, malah melakukan embargo ekonomi dan perdagangan terhadap Irak sejak 1991. Tanpa mempedulikan akibat embargonya ini, ratusan ribu warga Irak termasuk anak-anak meninggal dunia akibat kekurangan gizi. Seperti juga di Irak, PBB tidak peduli ketika pasukan-pasukan AS atas restunya menyerang Afghanistan, banyak warga sipil tidak berdosa yang jadi korban.

Sampai hari ini AS dalam upaya yang mereka sebut memerangi teroris, tidak segan-segan menghukum negara-negara yang tidak disenanginya. Bung Karno sendiri telah mengkonstatasi adanya ancaman semacam ini.

“Kaum imperialis,” kata Bung Karno, “paling suka menyebut dirinya ‘beradab’. Mereka paling suka menganggap kita-kita ini ‘biadab’, sehingga mereka harus datang dengan pasukan-pasukannya untuk mengajarkan ‘peradaban’ kepada kita. Dalam mengajarkan ‘peradabatan’ kepada kita, mereka tidak sayang harta dan tidak sayang benda. Dan jika kita ‘membandel’ maka dibomnya kita: di bomnya Maluku, Kamboja, Laos, dan Kuba. Pada saat ini, rupanya yang paling ‘membandel’ bangsa Vietnam. Sehingga bangsa ini setiap hari, setiap menit, dan setiap detik dihujani bom oleh pembawa ‘misi suci’ dari Washington. Kalau ‘misi suci’ itu gagal total, sudah tentu yang salah, katanya, ya kaum ‘biadab’ itu.”

Menurut Bung Karno, “Kaum imperialis tidak akan pernah memperkenankan kemerdekaan tipe Sukarno, Norodom Sihanouk (Kamboja), Mao Tse Tung (RRC), Boumedienne (Aljazair), Jamal Abdel Nasser (Mesir), dan Nkrumah (Ghana).” Mereka hanya ‘merestui kemerdekaan’ orang-orang yang bisa diatur dan mau menjadi anteknya. Apa yang dinyatakan Bung Karno itu, setidak-tidaknya terlihat dari upaya AS dan Inggris untuk menjatuhkan Presiden Saddam Hussein.

Tidak peduli rakyat Irak masih menyenanginya. Bahkan, Presiden Bush menyebut Iran, Irak, dan Korea Utara karena tidak mau tunduk dengan AS, sebagai poros kejahatan yang harus diperangi. Mengenai politik ‘persetan dengan bantuan Amerika Serikat’ (go to hell with your aid), yang sering dikumandangkan Bung Karno, seperti yang dijelaskannya sendiri, ‘bukan berarti Indonesia menolak bantuan AS.

“Tapi ia tidak mau kalau bantuan itu disertai syarat-syarat hingga AS dapat mendikte Indonesia. Apa yang dikemukakan Bung Karno itu, kini jadi kenyataan.”

Ketika Israel saat ini menyerang Palestina secara brutal, banyak negara Arab bungkam. Paling-paling hanya mengutuk, karena mereka tahu siapa yang berada di belakang negara Yahudi ini. Hingga tidak heran, kalau demo-demo anti Israel juga ditujukan ke kedubes-kedubes Arab di Jakarta meminta agar mereka juga membantu perjuangan saudaranya, rakyat Palestina.