qodsna.ir qodsna.ir

OKI Sikap Antizionis
dan Paradoks Politik
Anggotanya

Qodsna

Konferensi darurat para pemimpin negara anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI) di Istanbul, Turki, berakhir dengan perilisan pernyataan berisikan 30 poin.

 

Dalam pernyataan yang dirilis Jumat malam (18/5/2018), para pemimpin negara-negara Islam menuntut Perserikatan Bangsa-Bangsa, termasuk Dewan Keamanan PBB, Sekretaris Jenderal, Majelis Umum, Dewan Hak Asasi Manusia, Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia dan pelapor khusus, untuk segera membentuk komite peninjauan kejahatan Zionis terhadap rakyat Palestina. Negara-negara Islam juga menyebut rezim Zionis sebagai penjajah dan kriminal, serta menekankan bahwa kejahatan rezim anti-Palestina ini didukung oleh Amerika Serikat.

 

Ketegangan di Palestina pendudukan semakin intensif setelah relokasi Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke al-Quds menyusul keputusn Presiden AS Donald Trump pada 6 Desember 2017. Menyusul langkah tersebut, digelar protes anti-pendudukan rezim Zionis dan relokasi Kedutaan AS dari Tel Aviv ke al-Quds, di mana lebih dari 60 warga Palestina gugur syahid dan lebih dari 3.000 orang lainnya terluka akibat tindakan brutal

militer Israel.

 

Setelah pembantaian massal para demonstran Palestina itu, OKI menilai instruksi Trump untuk merelokasi Kedubes AS dari Tel Aviv ke al-Quds merupakan penistaan terhadap perasaan umat Islam serta melanggar ketentuan internasional dan resolusi PBB. Para pemimpin OKI juga mengecam pengakuan ilegal Quds sebagai ibukota rezim Zionis oleh Presiden Donald Trump, seraya menilai hal itu sebagai serangan terhadap hak sejarah, nasional, alami dan hukum bangsa Palestina.

 

Keputusan presiden AS untuk merelokasi kedutaannya  ke al-Quds harus dipandang sebagai produk dari kolusi para politisi Amerika dan Israel. Bukan sebuah kebetulan bahwa keputusan ini dibuat pada saat negara-negara Suriah dan Irak terbebaskan dari kelompok teroris Takfiri Daesh. Kelompok teroris yang didukung Amerika Serikat dan sejumlah negara Timur Tengah itu memulai aktivitasnya pada tahun 2011, dan tahun lalu, militer Suriah dan Irak mengumumkan penghancuran dan pemusnahan kelompok tersebut.

 

Dalam hal ini, Hassan Hanizadeh, seorng analis politik berpendapat: "KTT Istanbul adalah peluang besar bagi semua negara untuk menjadi lebih bersatu dan koheren. Faktanya, kita harus mengatakan bahwa Amerika Serikat melakukan segala upaya untuk menghancurkan dunia Islam. Karena merampas ketenangan dunia Islam secara tidak langsung akan membuat rezim Israel tenang."

 

Sementara itu, meskipun upaya negara-negara Islam untuk melawan keputusan Trump dapat menjadi langkah besar dalam merongrong legitimasi internasional kubu hegemoni pimpinan AS, terutama di Timur Dekat, namun selama negara-negara Islam besar seperti Turki dan Arab Saudi tdiak dapat menyelesaikan paradoks dukungan terhadap rakyat Palestina dan hubungan politik dan ekonomi berkelanjutan dengan rezim Zionis, maka keberhasilan organisasi akan sulit tercapai.(